Thursday, August 21, 2025
Ilustrasi (arahaini.d)
Opini / April 5, 2025

Perang Tarif Trump, Tantangan Kedaulatan Indonesia.

Sebuah pandangan orang awam

Oleh : Kaka Suminta

Sudah saatnya pemerintah Presiden Prabowo untuk mengakhiri “bulan madu” pemerintahannya dengan berbagai “pesta kembang api” yang tidak memberikan signal positif bagi arah politik dan ekonomi bangsa, seperti jumlah menteri yang super tambun, masuknya orang-orang yang bermasalah sejak pemerintahan Jokowi dalam kabinetnya,. Sampai kebijakan yang tidak menjawab permasalahan bangsa saat ini, seperti pembentukan Undang-undang TNI dan pembentukan koperasi desa yang terbukti gagal dimasa Orba.

Saatnya kembali pada kenyataan, khususnya terkait dengan penguatan politik ekonomi di dalam negeri dan hubunganya dengan kondisi global yang semakin memerlukan energi ekstra untuk menghadapinya, misalnya soal bagaimana menghadapi perang tarif yang dikumandangkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, yang mengenakan tarif sebesar 32 persen terhadap impor dari Indonesia. Indonesia masuk dalam kategori  pengenaan tarif tinggi dibandingklan dengan berbagai negara lain, yang dibawah 25 persen, seperti Inggris  dan Indonesia bersama dengan Cina dan beberapa negara Asean lain seperti Vietnam dan Kamboja menjadi sasaran tarif tinggi Trump.

Tanggapan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mewakili pemerintah dinilai terlalu normatif dan tak akan banyak membantu, yang menyatakan tidak akan membalas perang tarif Trump dan akan melakukan negiosiasi dengan Amerika Sertikat, sebuah jawaban yang naif di hadapan kondisi yang sangat berubah dan sangat trubulen. Tanpa ada pesan jelas kepada seluruh Bangsa Indonesia dan hubungannya dengan konstelasi global dan regional. Sebuah pernyataan dan mungkin langkah yang justru disukai Trump dan akan menyeret Indonesia dalam kondisi yang tidak menguntungkan bagi Indonesia dalam jangka pendek dan jangka panjang.

Menghadapi perang tarif Trump sebenarnya kita bisa mengamati dengan seksama rangkaian kebijakan Trump bahkan sejak periode pertamanya di Gedung Putih tahun 2016 lalu, yakni preteksionisme yang bertentangan dengan langgam Amerika Serika sendiri yakni perdagangan bebas sebagaimana yang terus dilaklukan selama ini dan puncaknya dalam kepresidenan Ronald Reagen serta lahirnya World Trade Organization (WTO) , yang pada intinya mendorong perdagangan bebas, juga munculnya  NAFTA (North Atlantioc Free Trade Aggrreement), MEE (MasyarakatB Ekonomi Eropa)  yang kemudia menjadi Uni Eropa. Dan kecenderungan ASEAN sendiri dengan penguatan perdagangan bebas ASEAN. Trump bergerak pada arah yang berkebalikan.

Dengan latar belakan itu sebenarnya kita ingin mendengar pernyataan Menkeu yang daopat menjawab permasalah domestik sekaligus menggunakan perang tarif Trump yang bagaimanapun tidak adil dengan melakukan reorientasi keberadaan dan kiprah Indonesia di dalam negeri di kancah regional dan global, termasuk untuk menyisir hubungan bilateral dengan mitra ekonomi utama dan potensi peluang kerjasama ekonomi dengan mitra potesnial. Sayangnya pesan itu tidak kita dengar dalam momentum yang seharusnya dimanfaatkan dengan baik.

Beberapa fakta terakait dengan perdaganagan internasional Indonesia dengan AS secara umum memang Indonesia mengalami surplus, atau terjadi deficit perdagangan pada sisi AS. Namun pengenaan tarif sebesar rata-rata 32 persen menimbulkan pertanyaan besar, bukan karena soal perhitungannya semata, namun juga dari sisi efek kejut yang dibuat akibat kebijakan yang terkesan jigjag dan tak bisa dipredisksi, dalam perdagangan dunia, hal mana potensial menimbulkan efek buruk akibat ketidak pastian, sehinga seyogyanya tanggapan Indonesia bukan sekadar tidak akan membalas pengenaan tarif tadi, tetapi mempertanyakan atau bahkan mengecam cara-cara yang bisa dianggap brutal dalam hubungan dagangn sepertti ini.

Selanjutnya perlu menyampaikan apa yang akan dilakuakan di dalam negeri, misalnya menjadikan subtitusi impor, khsuusnya impor dari Amerika Serikat, seperti sektor pangan dan teknologi, untuk membangun industri pangan dan teknologi menggantikan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bila perlu dengan dukungan dan subsidi yang dapat merangsang penguatan industri tadi. Dengan demikian akan memberikan dukungan iklim yang baik bagi pengembangan bidang idustri yang disubtitusi dan akan memberikan multi efek positif bagi investasi, industr, perdagangan dan pembangunan ekonomi secara umum.

 

Bagaimana dengan hubungan regional, global dan bilateral setiap mitra dagang Indonesia. Saat ini sedang kuat solidaritas global untuk memperkuat hubungan dagang dan hubungan antarabangsa di berbagai negara, seperti pada negara-negara BRIC (Basil, Rusia, India, Cina + Afsel), UNI Eropa, Atlantik Urtara tanpa AS, Australia dan bagian dunia lain untuk semakin mempererat hubungan global, regionmal dan bilateral. Seharusnya ini menjadi momentum untuk penguatan Indonesia di kancah global, dengan memperhatikan setiap hungungan tadi secara seksama untuk menghadirkar sikap dan langkah yang tepat.

Misalnya hubungan Indonesia dengan Cina yang merupakan mitra dagang utama saat ini, namun dengan catatan Indonesia yang mengalami defisit perdagangan, seharusnya dibuat kebijakan untuk mengimbangi defisit tadi dengan dialog perdagangan yang konstruktif dan adil, yakni memperbesar porsi ekspor Indonesia misalnya. Demikian juga dengan penguatan dengan mitra dagang lain, khususnya dengan negara-negara ASEAN serta mitra dagang potensial lainnya. Maka semuanya perlu diosokong dengan penguatan investasi dan iklim usaha yang baik di berbagai bidang di mana Indonesia memiliki keunggulan komparatif dengan mitra dagang tadi.

Semua itu tentu memerlukan dukungan iklim poltik dan ekonomi yang kuat dari Presiden Prabowo, yakni dengan memperkuat pertisipasi warga negara, bukan sebaliknya memunculkan pernyataan kebijakan dan regulasi yang anti partisipasi publik seperti yang selama ini dilakukan, demikian juga jika ada benalu di dalam pemerintahan Prabowo,. Saatnya untuk mengamputasi dengan alasan kuat bahwa kita bukan sedang berperang di lingkungan domestik, tetapi kita sedang berhadapan dengan kondisi geopolitik dan ekonomi global yang tidak bisa-biasa saja.

Dalam hal inilah kedaulatan Indonesia menjadi pertaruhan di pundak kepemimpinan Prabowo. Selesai sudah bulan madu itu, teralalu berat beban negara ini jika harus digelayuti oleh problem kesalahan masa lalu pemerintah sebelumnya. Demi kedaulatann bangsa dan kesejahteraan umum Indonesia maka langkah kongkrit harus dilakukan, memotong benalu yang menggerogoti dan menghadapi tantangann untuk memperkuat investasi dan industri sekaligus memperkuat perekonomian nasional. sebagai bagian dari penguatan kedaulatan bangsa

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *