Thursday, August 21, 2025
Gedung MK
Uncategorized / July 7, 2025

Sekitar Putusan MK, Ketika Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah

Tim Lembaga Advokasi Pembanguan dan Demokrasi

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024, yang dibacakan pada 22 Februari 2024, merupakan titik balik penting dalam lanskap pengaturan pemilu di Indonesia. Putusan ini mengabulkan permohonan uji materi terkait keserentakan pemilu, dan secara esensial, memisahkan jadwal penyelenggaraan Pemilu Nasional (Pemilihan Presiden/Wakil Presiden, DPR RI, dan DPD RI) dengan Pemilu Lokal (Pilkada dan Pemilihan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota) mulai tahun 2029 . Meskipun terlihat sebagai penyesuaian teknis, penembakan ini memicu gelombang dan implikasi sosial-politik yang mendalam.

Ringkasan Putusan dan Argumen MK

Inti dari Putusan MK 135/PUU-XXII/2024 adalah perintah untuk mengubah desain keserentakan pemilu. MK beralasan bahwa keserentakan lima kotak suara yang diterapkan pada Pemilu 2019 dan 2024 terbukti menimbulkan beban kerja yang luar biasa berat dan berakhir pada banyaknya korban jiwa di kalangan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Mahkamah menilai, kondisi ini tidak sejalan dengan prinsip pemilu yang jujur ​​dan adil, karena kelelahan petugas dapat mengganggu integritas proses penghitungan suara.

Selain itu, MK juga menyoroti aspek pelembagaan partai politik dan efisiensi penyelenggara pemilu . MK berpandangan bahwa jadwal pemilu yang terlalu padat membuat partai politik kesulitan dalam melakukan konsolidasi internal, pendidikan kader, dan penyusunan program jangka panjang. Mereka cenderung terjebak pada pragmatisme elektoral. Bagi penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu), tahapan pemilu dan Pilkada yang sangat rapat dianggap mengurangi efisiensi dan fokus kerja, serta menimbulkan masa “vakum” yang panjang ketika tidak ada tahapan inti pemilu/pilkada yang sedang berjalan.

Dengan memisahkan jadwal, MK berharap dapat:

  1. Mengurangi beban kerja dan potensi korban jiwa di antara petugas pemilu.
  2. Meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilu karena penyelenggara dapat lebih fokus.
  3. Memberikan ruang bagi partai politik untuk memperkuat pelembagaannya.
  4. Meningkatkan efisiensi penggunaan anggaran dan sumber daya penyelenggara.

 

Konteks Sosial Politik dan Perdebatan yang Menyertainya

Putusan MK ini tidak jatuh dari langit, melainkan lahir dalam konteks sosial-politik yang kental, terutama pasca-Pemilu 2019 yang memakan banyak korban jiwa KPPS, dan menjelang dinamika Pemilu 2024. Perdebatan yang menyertainya pun bersifat multidimensi:

1. Masalah Beban Kerja dan Kemanusiaan

Poin ini adalah argumen paling kuat dan diterima secara luas dalam putusan MK. Pengalaman Pemilu 2019 dan 2024, di mana ribuan petugas KPPS jatuh sakit dan ratusan meninggal di dunia akibat kelelahan ekstrem, menjadi luka kolektif bagi bangsa. Desakan untuk menyelesaikan konsultasi suara yang masif dalam waktu singkat, seringkali di bawah penerangan seadanya dan dengan fasilitas minimal, adalah kenyataan yang pahit. Dalam konteks sosial, putusan ini dianggap sebagai respons kemanusiaan terhadap tragedi tersebut. Tidak ada yang ingin melihat penyelenggaraan demokrasi merenggut nyawa para pejuang demokrasi di akar rumput.

2. Perdebatan Konstitusionalitas dan Inkonsistensi Putusan MK

Ini adalah area perdebatan paling panas di kalangan pakar hukum tata negara. Beberapa pihak menilai putusan ini inkonsisten dengan Putusan MK sebelumnya (terutama Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013) yang justru memunculkan keserentakan pemilu nasional dan daerah. Argumen utama Putusan 14/PUU-XI/2013 adalah untuk mengurangi biaya politik, menyederhanakan pilihan pemilih, dan memperkuat sistem presidensial. Pemisahan jadwal, menurut kritikus, berpotensi mengembalikan fragmentasi politik dan mengabaikan tujuan awal keserentakan.

Lebih jauh, ada kekhawatiran bahwa putusan ini berpotensi melanggar atau setidaknya menafsirkan ulang secara drastis Pasal 22E UUD 1945 yang menyatakan pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Pertanyaan muncul: apakah MK telah melampaui kewenangannya dengan menetapkan norma jadwal pemilu yang seharusnya menjadi domain pembentuk undang-undang (DPR dan Pemerintah)? Beberapa politisi bahkan menuduh MK “mencuri kedaulatan rakyat” karena seolah menentukan pola pemilu tanpa melalui proses legislasi. Perdebatan ini mencerminkan ketegangan antara peran MK sebagai penafsir konstitusi dan batas-batas intervensinya dalam ranah politik praktis.

3. Implikasi terhadap Pelembagaan Partai Politik dan Politik Nasional

Pemisahan jadwal diharapkan memberi partai ruang untuk bernapas. Namun, dalam konteks politik praktis, ini juga bisa berarti:

  • Aktivitas politik yang berkelanjutan: Partai akan terus berada dalam “mode pemilu” meskipun tidak serentak, yang bisa jadi melelahkan bagi struktur partai dan pemilih.
  • Penguatan lokal: Dengan fokus terpisah, Pilkada bisa menjadi ajang penguatan politik lokal tanpa terlalu didominasi isu nasional. Namun, ini juga berisiko mengurangi perhatian publik terhadap isu-isu makro.
  • Biaya politik: Meskipun efisiensi KPU bisa meningkat, partai politik dan calon mungkin akan menghadapi dua gelombang biaya kampanye yang terpisah, berpotensi menambah beban finansial.

4. Potensi Kekosongan Jabatan dan Masa Transisi

Salah satu kekhawatiran terbesar pasca putusan ini adalah potensi kekosongan kursi DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota. Anggota DPRD hasil Pemilu 2024 akan berakhir masa jabatannya pada tahun 2029. Jika Pemilu Lokal (yang mencakup pemilihan DPRD) baru dilaksanakan 2 atau 2,5 tahun setelah Pemilu Nasional 2029 (misalnya pada pertengahan/akhir 2031), maka akan ada jeda panjang di mana tidak ada perwakilan legislatif di daerah.

Secara konstitusional, memperpanjang masa jabatan DPRD adalah opsi yang sangat problematis dan hampir tidak mungkin dilakukan karena melanggar prinsip masa jabatan lima tahun dan kedaulatan rakyat. Ini bukan masalah sepele, karena kekosongan DPRD berarti:

  • Kelumpuhan fungsi legislasi (pembuatan Perda) dan penganggaran (penetapan APBD).
  • Ketiadaan fungsi pengawasan terhadap eksekutif daerah.
  • Potensi krisis legitimasi pemerintahan daerah. Ini menjadi pekerjaan rumah mendesak bagi DPR dan Pemerintah untuk mencari solusi transisi yang konstitusional.

Implementasi Ideal yang Seharusnya Dilakukan

Mengingat kompleksitas putusan ini dan perdebatan yang menyertainya, implementasi idealnya harus mencakup beberapa aspek:

  1. Revisi Undang-Undang yang Komprehensif dan Cepat:
    • DPR dan Pemerintah harus segera menyusun revisi UU Pemilu dan UU Pemilihan. Ini bukan sekadar tambal sulam, melainkan harus mendesain ulang jadwal dan tahapan pemilu secara holistik.
    • Poin krusial: UU baru harus secara eksplisit mengatur jadwal Pemilu Lokal (termasuk pemilihan DPRD) pasca-2029 agar tidak ada kekosongan masa jabatan anggota DPRD. Opsi paling konstitusional adalah menempatkan Pemilu Lokal pertama di tahun 2029 atau awal 2030, sehingga pelantikan DPRD baru dapat dilakukan tepat waktu. Jeda 2-2,5 tahun antara Pemilu Nasional dan Lokal mungkin baru akan berlaku untuk siklus-siklus pemilu berikutnya, bukan untuk transisi pertama ini.
  2. Mekanisme Transisi yang Jelas:
    • UU harus memuat pasal-pasal transisi yang detail mengenai bagaimana masa jabatan yang ada akan berakhir dan masa jabatan yang baru akan dimulai, tanpa menciptakan kekosongan atau anomali konstitusional.
  3. Penguatan Kapasitas Penyelenggara Pemilu:
    • Dengan jadwal yang terpisah, KPU dan Bawaslu memiliki kesempatan untuk meningkatkan kualitas manajemen pemilu, pelatihan petugas, dan pengawasan. Fokus yang terbagi tidak lagi menjadi alasan untuk kendala operasional.
  4. Pendidikan Politik dan Penguatan Partai Politik:
    • Jeda waktu yang diberikan seharusnya dimanfaatkan oleh partai politik untuk melakukan konsolidasi internal, pendidikan kader, serta menyusun platform dan program yang lebih substansial, bukan hanya sekadar merespons dinamika elektoral.
  5. Sosialisasi Publik yang Masif:
    • Perubahan mendasar dalam jadwal pemilu harus disosialisasikan secara luas kepada masyarakat agar tidak menimbulkan kebingungan atau disinformasi.

 

Membedah Nalar MK

Secara penalaran logis, putusan MK 135/PUU-XXII/2024 adalah sebuah upaya untuk menyelesaikan masalah riil dan mendesak (beban kerja petugas KPPS) dengan menggunakan instrumen hukum. Argumen kemanusiaan dan efisiensi penyelenggaraan adalah fondasi logis yang kuat dari putusan ini. Namun, kompleksitas muncul ketika solusi yang diberikan (pemisahan jadwal) berpotensi menciptakan masalah baru yang juga fundamental (kekosongan legitimasi legislatif daerah) jika tidak diantisipasi dengan matang dalam regulasi turunannya.

Putusan ini memaksa sistem politik Indonesia untuk melakukan koreksi diri dan adaptasi. Tantangan utamanya adalah bagaimana pembentuk undang-undang dapat mengubah Amanat MK menjadi regulasi yang pragmatis dalam menyelesaikan permasalahan yang ada, namun tetap konsisten secara konstitusional , terutama terkait masa jabatan wakil rakyat dan prinsip kedaulatan rakyat. Keberhasilan implementasi keputusan ini akan sangat bergantung pada kemampuan DPR dan Pemerintah untuk berdialog, bernegosiasi, dan menyusun undang-undang yang visioner, bukan reaktif semata.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *